SELAMAT DATANG

Anda memasuki blog remaja yang gaul, cerdas dan mencerahkan

Kamis, 11 Maret 2010

Cerpen

Penyesalan
Oleh : Kaisa Fauzi

Brak. aku melempar beberapa buku ke atas meja. berantakan, tapi ini kamarku, aku boleh berbuat apa saja.
Sesaat kemudian tubuhku sudah berada di atas ranjang.
"Bimo, buka dulu sepatunya, nanti semuanya kotor!" suara ibu terdengar keras dari dapur.
Hmmm, baru santai sedikit, sdh terganggu lagi, aku menggerutu.
Tanpa suara aku melepas sepatu.
"Nih makan dulu, habis itu kamu antar adikmu mengaji", suara ibu setengah membentak.
Ah, apalagi ini! emangnya aku tidak boleh santai sedikit. makan saja disuruh-suruh, akukan Sudah besar. tapi suara itu tidak terdengar hanya aku yang tahu.
Jarum jam berdetak berirama, membuai aku dalam lelap tidur... tapi...
"Bimo..!! eh malah enak-enakan tidur, tuh lihat adikmu sudah menunggu di luar," suara itu seperti geledek di siang hari. Kontan aku kaget dan langsung terbangun. Kesadaranku belum begitu pulih, tapi pandanganku melihat wanita bertubuh tambun dengan kedua tangan berkacak pinggang berdiri di pintu kamarku.
Oh.. my God ini lagi, wanita yang sudah tujuh belas tahun ku panggil ibu.
Empat tahun lalu suaranya tidak seseram ini. Aku masih ingat ketika dia sering memuji hasil ulanganku yang mendapat nilai tujuh.
"Memang kamu anak pinter, tapi coba kalau kemarin kamu tidak terlalu banyak main Play station pasti nilai kamu lebih dari ini," suara itu kembali terngiang di telinga.
Aku rindu suara itu, suara yang membuatku betah tinggal lama di rumah. Bahkan ketika aku melakukan kesalahan, tidak ada makian yang keluar dari mulutnya.
"Mungkin ibu yang salah, ibu kurang peduli sama kamu ketika di luar rumah. Ibu pikir, ketika kamu berangkat sekolah, tanggung jawab ibu jadi hilang, ternyata ibu salah." Kata-kata itu meluncur ketika tiga hari aku absen ke sekolah, tanpa kabar. Akibatnya orang tuaku dipanggil.
Padahal dari rumah aku berangkat seperti biasa dengan memakai seragam sekolah. Di jalan aku membelokkan arah, bukan ke sekolah tapi tempat game.
Saat itu tak kuasa aku menitikkan air mata. Akupun bersujud dan meminta maaf. Indahnya kenangan itu,...
"Disuruh nganter adiknya malah ngelamun, cepetan pergi nanti telat !" suaranya kembali menyadarkanku.

****

Pagi mulai menggeliat. Cahaya mentari berkilauan menerpa genangan air di depan rumah. ya semalam hujan memang cukup lama.
Aku sudah berseragam. Hanya warna, tanpa atribut sekolah. Dengan bergegas aku keluar rumah.
"Eh, kayak maling aja, pergi ga pamit dulu!" suara yang sudah sangat akrab.
Tanpa menoleh aku tetap berjalan, meninggalkan rumah. Meninggalkan kesendirian. Ya, kesendirian. Aku merasa hidup sendiri, sejak empat tahun lalu.
Aku sudah kehilangan keluargaku. Ayahku direnggut pengendara sepeda motor. Dan sampai kini belum diketahui siapa.
Aku hanya punya ibu, tapi ah sekarang tidak lagi. Ketika laki-laki itu datang dan kemudian menikah dengan ibuku.
Rumah sudah seperti neraka bagiku. Tidak seramah rumah-rumah kardus yang ada di pinggiran kota.
Beban itu bertambah ketika setahun kemudian Arya lahir. Yang paling menyedihkan adalah harus memanggilnya dengan sebutan adik.
Langkah kakiku seakan tak tentu arah. Ke sekolah? Ah nanti aja jam ke tiga. Jam pertama dan ke dua pelajaran Bahasa Inggris. Guru itu yang membuatku sering mual.
"Bimo, kalau intonasi bicara kamu diturunkan, pasti akan lebih baik!" kata-kata Pak Rizki seminggu yang lalu.
Emangnya dia siapa, orang tuaku aja tidak pernah peduli.
Tak lama aku ijin ke kamar kecil. Dan jelas aku tidak kembali ke kelas. Daripada mendengarkan khutbah yang membuat panas telinga, mendingan nongkrong di kantin.
Sebetulnya kejadian ini belum seberapa. Hampir setiap ada kesempatan, selalu saja ada yang dia omongkan. Ah terlalu sering dia menasehatiku. Bagiku, semua omongannya bagaikan racun yang membuat semua sendiku mati.

****
"Bimo, kenapa tadi jam bahasa inggris kamu tidak hadir?" Pak Rizki sudah berada di pintu gerbang ketika dengan perlahan-lahan aku masuk.
"Bangun kesiangan pak!" jawabku tanpa salah. Dan selalu itu alasanku kalau aku datang terlambat ke sekolah.
"Oh.. lain kali jangan sering begadang, bangunnya pasti kesiangan. Tadi bapak memberikan PR, coba kamu belajar dari temanmu dan kerjakan PRnya. Kamu pasti bisa!"
Cih! emangnya aku peduli. Mau ada PR kek ato engga, ga penting bagiku. Emang kata itu tidak keluar dari mulutku. tapi sepertinya Pak Rizki bisa membaca itu dari raut wajahku. Wajah tanpa ekspresi.
Aku berlalu menuju kelasku.
"Bim, tadi kamu ditanyain Pak Rizki, kamu kemana aja!" Santo sohibku langsung nerocos begitu aku masuk ke kelas.
Aku langsung duduk tak mempedulikan Santo.
"Hei, emang enak dicuekin," Santo kembali bicara dan duduk di sebelahku.
"Kamu sudah tiga kali ga ikut pelajaran Bahasa Inggris, kalau kamu ga bisa ikut ulangan semester gimana?" Santo seperti tidak sabar menunggu aku bicara.
"Lama-lama kamu seperti ibuku juga ya, cerewet!" aku berkata sekenanya.
"Emangnya kalau aku tidak ikut ulangan semester, ngaruh sama kamu, enggak kan?
"Kantin yu!" aku mengalihkan pembicaraan.

****
"Kemarin ban motornya pak Rizki bocor, tau ga?" Santo berkata ketika istirahat.
Aku tersenyum. "Ya jelas tau donk!"
"Apa kamu yang ...." Santo tidak melanjutkan perkataannya. Tapi jelas dia curiga padaku.
"Sudah ah ga penting, kantin yu!
Belum terlalu banyak anak di kantin. Hanya ada dua meja yang terisi, tiga dengan aku dan Bimo.
"Mie ayam bu, satu lagi baso tanpa mie,"
Tak lama pesanan sudah terhidang. Tak sabar aku langsung menikmati makanan kesukaanku. Mungkin mie ayam kantin sekolah adalah makanan paling enak yang bisa aku makan.
Santo masih membiarkan baso tanpa mienya. Sepertinya dia masih penasaran dengan pertanyaannya tadi.
Tapi kemudian diapun tak menyia-nyiakan makanannya menjadi dingin.
suara cekikkan para siswi terdengar membicarakan idola mereka.
"Tau ga kemarin aku ke mall, eh ada nicholas saputra, ihhh imuuuut banget!" salah satu anak nyerocos.
"Siapa, Nicholas..., ihh ko ga bilang-bilang!" suara yang lain tak kalah tinggi.
Ah, dasar perempuan, di mana-mana pasti kerjaannya gosip.
"Betul ga, kamu yang...,"Santo tak melanjutkan ucapannya.
"Kalau iya kenapa, ngaruh sama kamu?" Aku berkata setelah menelan satu sendok terakhir kuah mie ayamnya.
Santo tidak bersuara, tapi wajahnya terlihat berubah.
***
Bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu. Tapi belum ada satupun guru yang masuk ke kelasku. Ini pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Nike biasanya guru paling tepat waktu. Bel berbunyi dia langsung masuk kelas.
Dari jendela kelas, terlihat Pak Budi wali kelasku berjalan bersama Pak Rizki mengarah ke kelasku. Apa Pak Rizki sudah tahu kalau aku yang mengempeskan ban motornya. Kemudian dia mengadu ke Pak Budi.
Yang biasanya aku cuek, hari ini agak berubah. Peluh mulai bercucuran.
"Kamu kenapa, kamu sakit,"Santo bertanya.
Aku tidak mempedulikannya. tapi pikiranku semakin tidak nyaman.
Betul sekali, Pak Budi dan Pak Rizki masuk ke kelasku.
Pandanganku tertunduk. Aku tak kuasa menatap keduanya.
"Selamat pagi anak-anak, ada yang akan disampaikan oleh Pak Rizki, mohon diperhatikan!" Suara Pak Budi lirih, tapi bagiku itu cukup membuatku semakin tidak berkutik.
"Anak-anakku, banyak kenangan yang bapak dapatkan di sini. Bukan hanya suka tapi juga duka. Tapi kenangan ini akan bapak jadikan patokan untuk merangkai kenangan di tempat lain. Ya, di tempat lain. Karena hari ini adalah hari terakhir bapak bertugas di sini," suara ini mengalir bagaikan magnet yang menarik air mataku keluar.
"Bapak minta maaf kalau selama ini punya salah pada kalian,"suara Pak Rizki sendu. Sekilas aku melihat cairan bening menggenang di kelopak matanya.
"Kemarin SK kepindahan Bapak sudah turun. Mulai besok bapak akan bertugas di SMKN Purwokerto" Suara itu semakin menyiksaku.
Mataku sembab, aku tak mampu berkata-kata.

Pak Rizki mau pindah? apa jangan-jangan karena ulahku selama ini?
Terbayang kejadian-kejadian yang aku perbuat. Bolos, menjadi rutinitas harianku.

Dengan langkah tertahan dan dipaksakan aku maju ke depan.
Aku memandang wajah Pak Rizki. Wajah itu sangat tenang, tidak terlihat ada marah apalagi dendam.
"Maafkan saya pak, saya yang sering berbuat usil pada bapak, saya juga yang telah membocorkan motor bapak," aku berkata dengan terisak.
Suasana kelas sangat hening, hanya isakkanku yang terdengar.
"Saya mohon Bapak tetap mengajar di sini," saya hampir tak mampu menyangga berat badanku sendiri. Beruntung Pak Rizki memeluk tubuhku dan mengelus rambutku.
"Sa.... saya berjanji akan berubah, tapi mohon Bapak tidak meninggalkan kami,” isakanku semakin terdengar.
Pak Rizki tersenyum, kembali mengelus-elus rambutku.
Aku seperti pernah mengalami masa seperti ini.
Tapi itu dulu ketika bapakku masih ada. Terbayang masa-masa indah itu.
"Bapak senang kamu berubah, tapi kepindahan bapak sudah merupakan tugas,"
Suara itu... seperti yang sudah sangat akrab di telingaku. Dulu aku sering mendengar suara seperti itu. Ya, suara almarhum bapakku dulu. Aku rindu suara itu.
Di sela-sela lamunanku itu, akhirnya Pak rizki keluar dari kelasku, setelah menyalami kami semua.
Angin sepoi menyapa melewati jendela kelasku. Laksana memberikan semangat baru untukku. Untuk kesuksesanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar