SELAMAT DATANG

Anda memasuki blog remaja yang gaul, cerdas dan mencerahkan

Kamis, 07 Januari 2010

APIT TIDAK HARUS KEJEPIT

Oleh : Faozi Latif

Sore itu Minggu, 18 Oktober 2009 calon tetangga baru saya sibuk membawa kasur dari rumah lamanya. Dia berkemas mengosongkan rumah lamanya, yang sudah dia jual. dia berencana menempati rumah saudaranya yang sudah lama kosong dan sudah cukup rusak. Pintu depan tidak ada dan tembok yang terbuat dari anyaman bambu, sudah banyak dimakan rayap. Kebetulan rumah tersebut ada di sebelah barat rumah saya hanya terhalang satu rumah.
"Malam ini saya akan tidur di sini", begitu tetangga saya bilang.
"Tapi rumah inikkan masih belum selesai," saya berkata sambil memperhatikan sekeliling. Beberapa bagian masih banyak berlobang.
"Tambagnya* belum dikirim, katanya hari rabu," katanya menjelaskan sambil memperhatikan sebelah timur rumahnya yang belum dipasangi tambag. (Tambag = anyaman bambu)
Sebagai seorang tetangga, saya menyarankan untuk menunggu beberapa hari sampai rumah tersebut sudah tertata dan terpasang tambag semua. Saya mengatakan bahwa yang membeli rumah pasti akan memberikan jeda waktu dua hari sampai seminggu, minimal sampai rumah tertutup semua.
"Saya segera pindah, karena takut memasuki bulan depan, bukan karena tidak boleh manggon beberapa hari di rumah itu," kata bapak itu sambil menghirup rokok kreteknya. Saya terdiam berusaha meresapi kata-katanya. Bulan depan adalah Bulan Dzulkaidah dalam kalender Islam atau Bulan Dulkangidah/Apit dalam kalender Jawa.
Ternyata saran saya keliru. Kepindahan tetangga saya tersebut berkaitan dengan sebuah keyakinan tertentu yang ada di masyarakat. Dalam kalender jawa, kita mengenal bulan itu ada 12. Salah satu bulan itu ada yang disebut dengan bulan apit/hapit. Bulan apit merupakan bulan ke 11 yang terletak antara Bulan Sawal dan Bulan Besar. Secara lengkap kalender jawa adalah sura, sapar, mulud, bakda mulud, jumadilawal, jumadilakhir, rejeb, ruwah (saban), pasa, sawal, sela (dulkangidah/apit), besar (Dulhijah).
Bulan Dulkangidah juga biasa disebut sela atau apit/hapit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama jawa kuna. Penamaan kalender jawa mirip dengan penamaan Kalender Islam (hijriyah) yang terdiri dari muharram, safar, rabiul awal, rabiul akhir, jumadil awal, jumadil akhir, rajab, sya'ban, ramadhan, syawal, dzulkaidah dan dzulhijjah.
Menurut masyarakat jawa apit berarti terjepit. Hal ini karena bulan ini terletak diantara dua hari raya besar yaitu idul fitri (syawal) dan idul adha (dzulhijah). Pada bulan ini dipandang tidak baik untuk mengadakan acara syukuran seperti pernikahan dan khitanan, termasuk pindah rumah. Orang jawa meyakini kalau seseorang pindah rumah bulan apit rezekinya akan seret, dan mungkin sampai kesialan lainnya. Maka tidak heran kalau tetangga saya rela tidur kedinginan, daripada mendapatkan kesialan.
Berbeda dengan apit, pada bulan dzulhijjah acara lebih semarak. Pesta pernikahan dan khitanan membanjir. Masyarakat menganggap bahwa bulan itu merupakan bulan yang agung. bahkan orang sunda mempunyai slogan Rayagung ka bale nyuncung. Rayagung artinya Bulan Dzulhijah (Hari Raya Agung), sedangkan bale nyuncung artinya adalah masjid. Dikatakan demikian karena biasanya pernikahan diadakan di mesjid sebagai tempat yang sakral. Bulan ini merupakan bulan berkah bagi para seniman dan pelaku bisnis yang berhubungan dengan pesta pernikahan. Seniman mendapatkan order manggung dari rumah ke rumah. Perencana pernikahan mengendalikan manajemen segala kebutuhan dari mulai pembawa acara, penata rias dan busana, katering, penata dekorasi, tata suara sampai pelaku seni.
Walaupun islam masuk ke indonesia sudah cukup lama, tapi pemahaman keagamaan masyarakat kita masih cenderung sinkretik, tarik menarik antara nilai-nilai luhur islam dengan budaya lokal. Dalam bukunya The Religion of Java, Clifford Geertz memberikan kategorisasi islam di Indonesia. Dia mengkategorisasikan islam menjadi priyayi, santri dan abangan. walaupun ada yang mengkritik kategorisasi ini dengan mengatakan bahwa hal ini tidak konsisten. Priyayi adalah kelas sosial yang lawannya wong cilik atau proletar. Maka dalam golongan santri maupun abangan terdapat priyayi (elit) atau wong cilik. Santri adalah mereka yang mendalami agama atau pernah mengenyam pendidikan agama yang biasanya dilakukan di pesantren. Sedangkan abangan adalah mereka yang tidak mendalami agama dan menjalankan agama secara dangkal.
Dalam tradisi islam kesialan dan keberuntungan tidak berkaitan dg waktu, kapan dia melakukannya. Dalam Surat Yunus:31 dijelaskan bahwa Allahlah yang memberikan rezki dari langit dan bumi, serta mengatur segala urusan. Di lain pihak tidak ada yang akan memberikan rezki pada seorang makhluk, kalau Allah menahan rezkinya (Al-Mulk:21). Secara ringkas, faktor prerogatif tuhanlah yang mengatur alam ini. Dalam Bahasa Al-Quran ketika Allah menghendaki sesuatu dia cukup mengatakan kun maka sesuatu itu akan terjadi (Al-Baqarah : 117).
Dalam buku The Secret of Mindset, Adi W Gunawan (2008) bercerita tentang kisah pohon mangga yang ada di pedalaman India. Para tetua suku di daerah tersebut melarang semua warga memakan buah dari pohon mangga. Hal itu diberlakukan setelah seorang anak meninggal karena dililit ular waktu memanjat pohon tersebut. Tetapi seiring waktu, dan ularnyapun mungkin sudah mati, hukum itu tetap ditegakkan. Ketika musim kemarau panjang tidak ada lagi makanan selain buah dari pohon mangga tersebut. Karena mempertahankan hukum dengan tidak memakan buah mangga itu, semua warga desa akhirnya meninggal dunia. Hanya ada beberapa pemuda yag tetap hidup karena mereka berani menentang hukum itu. Menurut Adi, hukum-hukum yang kita tegakkan adalah belief . Belief bisa membantu kita meraih keberhasilan hidup. Tetapi seringkali belief justru menjadi penjara mental yang menghambat gerak langkah kita. Jadi, bukan apit yang membuat kita terjepit, tapi belief kita yang menjepit kita.


Aktivis Pemuda Muhammadiyah Karangpucung Cilacap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar