SELAMAT DATANG

Anda memasuki blog remaja yang gaul, cerdas dan mencerahkan

Kamis, 07 Januari 2010

Kejujuran Dalam Membuat Nilai

Oleh : Faozi Latif

Saat ini merupakan saat yang sangat sibuk bagi komponen sekolah. Para siswa mengerjakan ujian semester, guru menjadi pengawas, pengoreksian lembar jawab dan kemudian pengisian rapot bagi wali kelas. Di beberapa sekolah kecil dengan jumlah guru yang terbatas, beberapa beban tugas itu diembankan pada beberapa individu yang sama. Ada beberapa guru yang mengajar lebih dari 3 sampai 10 pelajaran. Ketika musim pengoreksian, akibatnya bebannya akan sangat banyak. Hal itu belum kalau ditambah beberapa siswa yang harus mengikuti remidi karena nilainya tidak mencukupi.
Ujian Akhir Semester (UAS) merupakan standar untuk pengisian rapot, setelah digabung dengan nilai harian dan Ujian Tengah Semester (UTS). Biasanya di semua sekolah, semua kegiatan akan off pada masa ujian tersebut. Hal itu untuk memberi kesempatan pada anak untuk belajar maksimal. Semua materi yang pernah dipelajari di semester tersebut akan dievaluasi dalam UAS.
Setelah ujian selesai tinggal tugas guru mapel mengadakan koreksi. Apakah siswa yang mengikuti ujian dianggap kompeten atau tidak pada mata pelajaran tersebut. Bahkan lebih jauh guru mempunyai tugas menganalisis jawaban siswa. Biasanya siswa menunggu apakah dia perlu remidi kalau nilainya kurang atau tidak. Yang jelas apapun nilainya, siswa akan tetap menunggu hasil belajarnya. Ketika nilainya memuaskan dia akan merasa sangat kegirangan.
Di sinilah kejujuran seorang pendidik diuji. Ketika beban tugas yang banyak, ditambah tekanan ekonomi yang menghimpit, terkadang idealisme dikesampingkan. Apalagi terkadang tugas tersebut tidak sebanding dengan kesejahteraan yang diterima. Sehingga beberapa guru terkadang mengambil cara potong kompas. Ada yang menyebut cara tersebut dengan sistem tembak. Maksudnya lembar jawaban siswa tidak perlu diindahkan dan tidak perlu dikoreksi. Sedangkan nilai, mengikuti selera pendidik masing-masing dengan melihat keseharian siswa.
Cara ini jelas terkesan subyektif. Karena kedekatan guru dengan siswa akan menjadi nilai tersendiri. Sedangkan bagi siswa yang tidak dikenal, pasti akan terabaikan. Di samping itu, cara ini juga tidak manusiawi. Ketika siswa diperintahkan untuk belajar menghadapi Ujian, tetapi hasil pekerjaan mereka bak sampah yang tidak berguna. Logikanya buat apa diadakan ujian kalau tidak ada koreksi jawaban.
Selama ini masalah pendidikan memang sangat kompleks. Dan biasanya akan mentok kalau sudah berurusan dengan masalah kesejehteraan. Banyak para guru yang seringkali mengabaikan tugas dengan beralasan kesejahteraan yang sangat minim. Tetapi mungkin kita akan malu pada Ibu Muslimah sosok guru yang digambarkan dalam film Laskar Pelangi, yang dengan kesederhanaan dan jauh dari kesejahteraan tetapi tetap bisa mengabdi. Baginya idealisme lebih mahal dari pada beberapa lembar rupiah. Sehingga berapapun yang dia dapatkan, pengorbanan adalah yang utama.
Guru itu digugu dan ditiru. Ketika guru berbuat curang, bagaimana dengan siswa. Bagaimana generasi penerus bangsa sepuluh tahun ke depan, kalau semua guru biasa bermain tembak-tembakan. Mari kita jadikan momen anti korupsi dengan aksi nyata. Tidak perlu ke Jakarta menyuarakan hal itu. Dukup dengan membuat nilai berdasarkan kompetensi siswa dengan berpatokan pada hasil ujian semester. Say no to corruption.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar